Purwadhika
∙13 May 2025
Kasus Falcon menjadi sorotan karena pelajaran penting yang dapat diambil oleh pelaku bisnis, terutama dalam hal menjaga hubungan yang baik dengan target pasar mereka. Seperti yang disampaikan oleh @Keanshihab dalam cuitannya di twitter, "32% konsumen meninggalkan brand selamanya hanya karena satu pengalaman buruk." Ini menunjukkan betapa pentingnya membangun hubungan yang penuh penghormatan (respect) dengan audiens. Bahkan satu kesalahan kecil dalam menghargai konsumen bisa berdampak buruk pada reputasi dan penjualan bisnis.
Dalam salah satu kasus yang melibatkan Abidzar, seorang aktor dalam film Business Proposal, yang merendahkan penggemar Korea, hal ini langsung menurunkan engagement film tersebut hingga 60% hanya dalam tiga hari. Analisis dari Brand24 menunjukkan bahwa sentimen negatif mencapai 80%. Mengapa ini terjadi? Karena target pasar film ini adalah penggemar webtoon Korea, yang memiliki 2,5 juta pembaca di platform LINE. Ketika aktor tersebut merendahkan mereka, rating IMDb film ini langsung anjlok hingga 1.2/10.
Pelajaran yang bisa diambil adalah, sebagai brand atau individu yang mewakili brand, sangat penting untuk menjaga rasa hormat terhadap audiens atau target pasar.
@Keanshihab menekankan bahwa penting untuk tidak hanya fokus pada audiens utama, tetapi juga menghargai audiens lain yang mungkin tidak langsung menjadi target pasar. Sebagai contoh, jika sebuah produk ditujukan untuk gamers, maka menghargai audiens tersebut menjadi kunci keberhasilan. Menghina atau merendahkan kelompok lain dapat menyebabkan ketidakhormatan yang merusak reputasi brand, bahkan dari konsumen yang seharusnya loyal.
Dalam dunia marketing 3.0, konsumen semakin memilih brand yang sejalan dengan nilai-nilai pribadi mereka. 64% generasi Z rela membayar lebih untuk brand yang memiliki prinsip yang jelas (Accenture). Marketing 3.0, menurut Philip Kotler, mengedepankan "pemasaran yang menyentuh hati, pikiran, dan jiwa." Oleh karena itu, penting bagi brand untuk tidak hanya menawarkan produk atau layanan, tetapi juga memiliki prinsip dan tujuan yang jelas yang dapat menginspirasi dan menyentuh audiens di tingkat emosional.
Sebagai contoh, film Barbie (2023) sukses meraih pendapatan sebesar $1.4 miliar karena konsisten mengangkat isu kesetaraan gender. Namun, brand seperti Balenciaga mengalami kerugian besar setelah kampanye kontroversial mereka yang melibatkan tema yang tidak pantas. Hal ini mengingatkan kita bahwa prinsip brand yang buruk dapat memicu 'cancel culture' dan mempengaruhi loyalitas konsumen.
Di era digital ini, reputasi adalah segalanya. 55% konsumen pernah memboikot brand karena masalah prinsip yang kontroversial (YouGov, 2023). Dengan adanya media sosial yang memungkinkan informasi tersebar begitu cepat, penting untuk menjaga agar brand tetap konsisten dengan prinsip baik yang mencerminkan nilai-nilai positif.
Brand yang menjaga prinsip yang baik dan menghargai audiens serta target pasar mereka akan meraih loyalitas yang lebih tinggi. 73% konsumen lebih loyal kepada brand yang konsisten dengan prinsip baik (Label Insight). Oleh karena itu, dalam mengelola brand dan pemasaran, bukan hanya soal produk atau layanan, tetapi bagaimana kita menghormati dan menghargai audiens di semua lapisan masyarakat.
Jika kamu ingin lebih menguasai strategi social media untuk bisnis dan membangun brand yang lebih berprinsip, penting untuk belajar lebih banyak tentang strategi media sosial yang tepat. Pelajari lebih lanjut dengan mengikuti Bootcamp Digital Marketing Purwadhika yang sudah terbukti sukses menghasilkan alumni yang berprestasi.
Hal ini mengingatkan kita jika respect terhadap target pasar dan prinsip yang baik adalah kunci sukses di dunia digital marketing. Jadi, pastikan brand-mu selalu menghargai audiens dan konsisten dengan nilai yang diusung!
bagikan
ARTIKEL TERKAIT